IRON MAN 3 (2013) : IDENTITY CRISIS EPIDEMIC



IRON MAN 3
2013 / 130 Minutes / Shane Black / US / 2.39:1 / PG-13

Ada sebuah rahasia mengapa film Iron Man jauh lebih populer apabila dibandingkan dengan  film-film aksi solo para anggota geng Avengers lainnya. Ya tentu selain dibantu oleh ketenaran komiknya, film tersebut juga memiliki seorang Robert Downey Jr., sosok aktor yang karismanya telah berperan sangat besar dalam membuat film Iron Man menjadi begitu memorable



Robert Downey Jr. ibaratnya seperti Harrison Ford dan Indiana Jones, Johnny Depp dan Jack Sparrow, Arnold Schwarzenegger dan Terminator; mereka dilahirkan untuk memerankan sosok karakter ikonik tersebut dan tidak akan ada aktor lain yang dapat menggantikan mereka tanpa mengurangi esensi karakternya (dan angka box office-nya, tentu saja). Dengan kepopuleran seperti itu, jangan heran kalau Marvel nekad menempel Iron Man di bagian depan poster The Avengers tahun lalu, mencurahi Robert Downey Jr. dengan puluhan juta US dollar agar tetap mau terus memerankan Tony Stark, dan bahkan menggunakan seri ke 3 Iron Man ini sebagai pembuka The Avengers phase 2 yang puncaknya akan terjadi tahun 2015 nanti.


Iron Man 3 mengambil setting waktu sesaat setelah peperangan dahsyat dalam film The Avengers, di mana para pahlawan kita mulai menjalankan kehidupan mereka masing-masing. 

Sebagai satu-satunya anggota yang tidak memiliki kekuatan super, Tony Stark (Robert Downey Jr.) menjadi begitu berambisi untuk meningkatkan desain armor Iron Man-nya agar membuat dirinya “setara” dengan anggota Avengers yang lain. Namun rencana tersebut tidak dapat berjalan mulus ketika aksi terror yang dilakukan oleh seorang teroris bernama Mandarin (Ben Kingsley) telah membuat masyarakat mendesak Tony untuk menghentikannya sebelum Mandarin meluluh-lantakkan Amerika. 

Bisa ditebak, sang genius-billionaire-playboy-philanthropist langsung menepis permintaan dari masyarakat tersebut sampai akhirnya Mandarin menghancurkan rumah Tony dan seluruh pekerjaannya sampai tak tersisa yang membuat dia menyadari bahwa Mandarin adalah musuh terbesar yang tidak pernah ditemuinya seumur hidup.


Perjalanan psikologis Tony Stark

Ok. So where do we start? 
Iron Man 3, sudah tidak diragukan lagi, adalah film summer yang paling dinanti-nantikan kehadirannya di samping film reboot franchise Superman, Man of Steel bulan Juni nanti. Iron Man 3 juga merupakan follow-up langsung dari kesuksesan The Avengers tahun lalu dan menjadi film pembuka summer 2013--sama seperti yang telah dilakukan oleh dua film sebelumnya yang membuka summer 2008 dan summer 2010, respectively.

Shane Black yang diserahi tanggung jawab oleh Marvel untuk menangani arsitektur proyek ini pun telah membuktikan gembar-gembor tim marketing Disney dan juga kata-katanya sendiri pada waktu interview : bahwa installment ke 3 ini adalah film Iron Man dengan jalinan cerita yang paling kompleks dan akan membawanya ke lingkup yang jauh berbeda dari dua film sebelumnya. 

Di seri ke 3 ini, kita diajak untuk menelusuri apa yang terjadi pada Tony Stark paska peristiwa The Avengers, baik dari sisi psikologis sang karakter utama maupun aliran plotnya. Robert Downey Jr. sendiri pun sanggup mengikuti evolusi karakter alter-egonya tersebut dengan nyaris sempurna dan sangat meyakinkan (told you, he’s born to be Tony Stark). Dan itu bagus karena ikatan kontinuitas dari The Avengers ke Iron Man 3 menjadi sangat kuat dan semakin menunjukkan bahwa seluruh universe dalam film-film Marvel (geng Avengers) adalah sebuah satu-kesatuan, bukan berdiri sendiri-sendiri. 

Shane Black berhasil menggabungkan semua itu ke dalam script-nya dengan begitu rapi, rich dan cemerlang tanpa pernah membuat penontonnya bosan ataupun kehabisan energi excitement terhadap alur ceritanya yang juga dipenuhi dengan humor-humor kece ala Tony Stark. Di bagian supporting character-nya sendiri, sosok Happy dan Pepper Potts juga kebagian peran yang lebih banyak dan lebih plot-wise apabila dibandingkan dengan penampilan mereka sebelumnya.

Not the Iron Man We Used to Know

Akan tetapi, di luar kecemerlangan naskah dan performa para aktor-aktrisnya, Iron Man 3 justru kehilangan sesuatu yang sangat fatal : identitasnya sebagai film Iron Man itu sendiri. I mean, installment ke 3 Iron Man ini dapat dikatakan telah--oh my god. Lagi-lagi gw nulis kata-kata ini--menggunakan formula The Dark Knight dan juga The Dark Knight Rises dengan takaran yang melebihi dosis wajar. Ya, lagi, lagi dan lagi. 

Saya di sini sebenarnya tidak menuntut Iron Man 3 untuk mengusung alur cerita yang fresh, saya lebih menginginkan agar film Iron Man untuk tetap menjadi film Iron Man seperti yang sudah dibangun oleh Jon Favreau dengan mantap sebelumnya : fun, spektakuler, ceria, ringan, dan tidak kelam--sesuai dengan segala template yang sudah Marvel pakai di seluruh rangkaian film The Avengers Phase 1. 

Dan sesuai dengan sub-judul pos ini, apakah film Iron Man 3 adalah pertanda bahwa film-film Marvel Phase 2 akan mulai kehilangan identitasnya dan terjerumus ke dalam arus tren sekuel-adalah-membuat-segalanya-menjadi-lebih-kelam? Well, saya tidak pernah mengatakan bahwa formula TDK-TDKR ini buruk, saya justru menyukainya. Tetapi itu semua tentu kembali lagi pada cocok atau tidaknya formula tersebut dengan materi filmnya. Dan kebanyakan film yang mencoba untuk memakai formula seperti itu justru bersifat sangat kontradiktif (salah satunya adalah Skyfall).

Iron Man seri pertama mengambil formula dari Batman Begins, di mana film tersebut menceritakan sebuah kisah origins sosok superhero tersebut dari titik nol hingga membuat kedahsyatan armor Iron Man baru muncul di pertengahan film. Namun Jon Favreau tidak memakai formula Batman Begins itu mentah-mentah. Beliau mengawinkannya dengan ciri khas Iron Man dan menciptakan identitasnya sendiri tanpa harus mengkhianati style film-film keluaran Marvel lainnya. Dan hasilnya? Spektakuler, fun dan sangat orisinil pada jamannya. Film ini bahkan telah menciptakan garis pemisah yang tebal antara film DC dan Marvel. Template ini sendiri lantas juga digunakan oleh Thor, Captain America, dan The Incredible Hulk.


Sayangnya, Shane Black malah merusak segalanya. Formula TDK terasa bertepuk sebelah tangan; berbenturan dengan elemen fantasi dalam film ini dan juga gaya film-film Iron Man sebelumnya. Sebenarnya semua itu dapat berjalan lancar seandainya Shane Black masih dapat menggabungkannya dengan template yang sudah tersusun matang itu. Tetapi beliau lebih memilih berusaha memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Dan hasilnya malah merusak sampai ke akar-akarnya. 

Mungkin beberapa di antara kalian akan menganggap kalau saya berusaha untuk menyambung-nyambungkan Iron Man 3 dengan TDK. Well, you guys are all wrong. Mengidentifikasi kehadiran format tersebut dalam film Iron Man 3 bukanlah hal yang sulit. Banyak poin-poin adegan yang mengindikasikannya, sebagai contoh seperti ketika Mandarin memaksa Iron Man untuk memilih antara Pepper Potts atau Presiden. Bahkan Shane Black juga memaksakan ego-nya di film ini dengan membuat Iron Man 3 seperti film action-thriller-espionage-buddy-cop daripada film aksi solo Iron Man seperti yang kita kenal selama ini. Memang hal ini akan menghadirkan sesuatu yang berbeda dalam installment Iron Man kali ini, tetapi menurut saya dan juga para fans, it’s too much sampai segala korelasinya dengan film Iron Man sebelumnya nyaris terputus total.


Pendekatan seperti ini jelas akan meninggalkan feel yang beraneka ragam : kritikus, ah bisa ditebak, mereka bukan fanboys dan formula TDK-TDKR ini jelas merupakan jalan pintas untuk memperoleh quote “the best in the series” atau semacamnya; sebagian besar masyarakat akan sangat terhibur dengan VFX dan adegan aksinya, karena memang itulah tujuan mereka berbondong-bondong ke bioskop, no offense; para pecinta film sebagian akan meninggalkan mixed feeling ketika mereka keluar dari bioskop (sedangkan sisanya akan sangat menyukai film ini); dan para fanboys akan sangat menghujat film ini karena selain gaya film-nya yang nggak Iron Man banget, ada twist yang sangat luar biasa kontroversial dan disturbing di pertengahan dan akhir film di mana saya masih belum menemukan para fanboys yang menyukai twist yang sangat mengerikan seperti itu sampai detik ini. 

Kalau saya? Saya berakhir di titik feel campur aduk. Saya menyukai pendekatan berbeda dalam film Iron Man 3 ini yang lebih ke intrik psikologis, kisahnya yang kelam dan kompleks. Tetapi sebagian dari diri saya, saya adalah seorang fanboy. Saya sangat menyayangkan keputusan Shane Black untuk menggunakan template back-to-basic ala TDKR dan juga keputusan Marvel untuk mengapprove twist yang sebegitu hinanya itu. 

Selain itu, rangkaian plot hole yang cukup obvious juga terpaksa hadir sebagai akibat dari banyaknya poin cerita yang harus diceritakan. Korban plot hole yang paling mengganggu terletak pada back-story / motif Mandarin yang terasa seperti disajikan ala kadarnya, terburu-buru dan kurang kuat. Dan bisa jadi itu semua terpaksa untuk dikesampingkan oleh kisah petualangan si Tony Stark sendiri di sepanjang film (dan untungnya, he's still worth it, lol).


Overall, Iron Man 3 adalah sebuah film sekuel yang dimulai dengan sangat menjanjikan dan diakhiri dengan sangat mengecewakan. Shane Black dapat dikatakan terlalu berambisi untuk membawa Iron Man ke tingkat yang lebih tinggi lagi, dan ia berhasil memang, meski di sisi lain ia harus membayarnya dengan ciri khas Iron Man dan mengkhianati segala harapan yang telah para fansnya bawa dengan bangga ke dalam bioskop. Dan bagi yang mengharapkan kalau Iron Man 3 akan memberikan petunjuk untuk The Avengers 2 atau film-film aksi solo geng Avengers yang akan datang, kubur harapan kalian dalam-dalam.


P.S : This review is certified spoiler-freeAyo scroll balik ke atas dan dibaca ya.
And don't forget to follow my twitter : @Elbert_Reyner





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Tentang Fase-fase Perkembangan Peserta Didik

TOP 25 BEST FILMS OF 2012

WORLD WAR Z (2013) : AN ORAL HISTORY OF THE ZOMBIE WAR