LA TAHZAN (2013) REVIEW : JANGAN BERSEDIH, PARA PENONTON



2013 / Indonesia / 98 Minutes / Danial Rifki / 1.85:1 / PG
Jika Hollywood menjadikan momen Summer sebagai ladang subur untuk menanam dan menuai investasi besar-besarannya, maka libur Lebaran dapat dikatakan sebagai Summer Momment bagi para produser film Indonesia untuk merilis film-film unggulannya. Penggusuran film-film blockbuster Hollywood dari slot XXI dan Blitzmegaplex biasanya mulai dilakukan pada hari awal libur Lebaran demi memberikan layar sebanyak-banyaknya untuk memutar film-film unggulan tersebut--ya gampangannya, gantian dengan film dari negeri sendiri. 




Falcon Pictures, salah satu rumah produksi besar di Indonesia, pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk merilis La Tahzan, film berbudget besar yang melakukan proses syuting di Jepang dan dibintangi oleh aktor-aktris yang termasuk papan atas di Indonesia seperti Atiqah Hasiholan, Ario Bayu, Joe Taslim, sampai Dewi Irawan. Susunan kru-nya pun tidak main-main. Ada Danial Rifki yang memulai debutnya di kursi sutradara, setelah sebelumnya menulis naskah film-film pemenang Piala Citra (Tanah Surga, Katanya...) bareng dengan partner-in-crime-nya, Jujur Prananto yang kali ini beraksi seorang diri sebagai penata naskah La Tahzan. Dengan segala talent-talent yang terlibat, apakah La Tahzan berhasil menyuguhkan sajian film Lebaran yang menarik?

Unfortunately, no. Semenjak opening scene-nya, La Tahzan sudah meninggalkan rasa pahit di lidah. 

Film ini dibuka dengan musik norak yang melantun secara tiba-tiba sembari mengiringi tulisan pembuka “Terinspirasi dari Buku Best Seller”. Serius, ini pertama kalinya saya membaca tulisan seperti ini di theatrical cut, bukan trailer. Latar biru muda dengan masjid dan tebaran bunga sakura kemudian muncul di layar diikuti oleh judul La Tahzan dengan subtitle “Jangan Bersedih” di bawahnya. Selanjutnya, para penonton disambut dengan scene prolog yang disertai dengan credit para pemain dan kru. 

Pembangun mood yang sangat amat tidak lazim seperti ini jelas meninggalkan senyum sumringah penuh ejekan di wajah penonton-penonton yang kritis. Apakah sang sutradara dan graphic designer-nya sedang mabuk berat pada waktu menyusun openingnya ini? Bisa jadi. Apa hubungan antara kombinasi warna biru kontras, tulisan kuning dan bunga sakura yang sangat luar biasa indah itu dengan kisah cinta segitiga dalam film ini? Tidak jelas. 

Dan sayangnya, ini belum apa-apa, kawan. Ini masih pemanasan.


Sudut Cinta Segitiga yang Tumpul, Disponsori oleh Lee Cooper.

Film kemudian mulai berjalan sesuai dengan sipnosis lengkap A-Z yang saya kutip dari web 21cineplex :

Viona (Atiqah Hasiholan) dan teman-temannya mendarat di bandara Kansai, Osaka, untuk program belajar sambil Arubaito belajar sambil bekerja [what the fuck? LOL] di Jepang. Viona bertemu Yamada (Joe Taslim), seorang fotografer freelance, yang ternyata mengerti bahasa Indonesia. Hal ini membuat Viona yang merasa asing di Jepang, seperti mendapat sahabat baru. Mereka pun menjadi akrab. Hingga Yamada, yang begitu langsung tanpa basa basi, ber terus terang ingin melamarnya. Bahkan Yamada siap pindah agama.

Pada persiapan Yamada menjadi mualaf, Viona terusik masa-masa di Indonesia, ketika seorang ibu menitipkan alamat untuk mencari anaknya di Jepang; Hasan (Ario Bayu), teman dekat Viona. Hasan yang selama ini menghindar dari Viona dan keluarga, pergi dengan meninggalkan pertanyaan bagi Viona. Dengan bantuan Yamada, akhirnya Hasan berhasil di temukan di Osaka. Ketika itu, kondisi Hasan sama sekali berbeda. Pada sebuah malam di Osaka Port, Hasan menceritakan semuanya. Kejujuran yang menjawab pertanyaan hati Viona. 

Yamada, Hasan, Viona --- Ketiganya dalam persimpangan memilih agama, kekekasih dan masa depan. Tidak ada yang mudah, namun sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Jangan bersedih, diantara satu kesulitan ada dua kemudahan.

Rasa terima kasih sebesar-besarnya harus saya utarakan ke bagian publicist film ini, karena saya tidak perlu repot-repot menyusun sipnosis film ini tanpa spoiler seperti yang sering saya lakukan di review-review saya sebelumnya.

Kembali ke La Tahzan.

Atiqah Hasiholan lagi-lagi tampil sangat annoying; bahkan lebih annoying dari penampilannya yang sudah sangat annoying di film Hello Goodbye tahun lalu karena kali ini, dia diharuskan untuk berakting dengan suara yang melengking sangat tinggi dan dengan gerak-gerik kesehariannya yang sama sekali tidak wajar dilakukan oleh perempuan tanpa gangguan mental kejiwaan. Ntah disengaja atau tidak, tetapi perilaku Viona yang digambarkan begitu freak, lembeng, terobsesi pada anime-anime, dan kemudian berakhir menjadi babu di Jepang sesudah lulus kuliah telah begitu berhasil mengolok-ngolok dan menjatuhkan citra para Designer di Indonesia. Jelas sekali bahwa tim penulis naskah sama sekali tidak melakukan observasi dan hanya berbekal pada pandangan sempit masyarakat terhadap para mahasiswa-mahasiswi DKV. Karena pada kenyataannya, tidak ada anak DKV yang seperti itu. 

Next. 

Yamada, karakter utama kedua yang menjadi love interest Viona, juga tidak mau kalah. Sosok yang diperankan Joe Taslim pun tak lebih dari karakter satu dimensi yang terus menerus menebarkan pesonanya sebagai aktor muda yang didamba-dambakan oleh kaum hawa di Indonesia. Karakter yang diperankannya terlalu imajiner dengan segala keserba-bisaannya dan kebaikan hatinya yang tidak wajar yang bahkan mungkin sempat dibayangkan oleh para pelajar SD ketika belajar agama dan PPKn tentang bagaimana menjadi manusia munafik yang baik hati, gentleman dan senang menolong sesama. Gampangannya, karakter Yamada adalah bentuk fans service menjijikkan untuk para kaum hawa yang hanya sekedar mau melting-meltingan melihat Joe Taslim berceloteh bahasa Jepang di bioskop.

Bahkan karakter pendukungnya, yakni teman seatap Viona sendiri, yang di atas kertas maunya dijadikan sebagai penyaji humor, malah berakhir membuat penontonnya ragu-ragu, ini film kisah tentang sekolah sambil bekerja, atau cerita tentang TKW berpendidikan rendah di Jepang? Lalu ada aktris senior Dewi Irawan yang muncul sekilas-sekilas dengan raut wajah sinetronnya yang memuakkan. Satu-satunya aktor yang bisa dilihat di sini adalah Ario Bayu. Itupun karena karakternya yang paling wajar dalam ranah standar La Tahzan dan screen time yang sedikit.


Teknik Mendongeng Kelas Teri

Jajaran karakter-karakter yang sama sekali tidak menarik di atas sebenarnya sudah cukup menjelaskan bahwa hal ini juga berlaku untuk plotnya. La Tahzan hanya berputar-putar di kisah cinta segitiga yang cliche dan menye-menye dengan segala improvisasi liar dalam kebodohan, kedangkalan, dan ketidakmasukakalan yang justru membuatnya berada di beberapa level di bawah film romance ter-cliche sekalipun. 

Momen terparahnya terletak pada third act-nya yang sangat mendadak bantir setir sampai ngguling-ngguling nggak karuan ke tema religius yang came out from nowhere dan sangat tidak masuk akal. No offense dan no SARA ya, tapi tema religius dalam La Tahzan ini seperti disempalkan seenaknya sendiri tanpa adanya motivasi atau benang merah yang jelas dari poin-poin cerita sebelumnya. Masa tiba-tiba Viona membicarakan tentang agama Islam dan si Yamada langsung mau pindah ke Islam demi menikahi Viona? Di mana logikanya, coba? Well, bisa jadi tema religi ini ditambahkan akibat desakkan dari pihak produser yang ingin merilis film ini pada waktu libur Lebaran. 

Secara teknis pun jelek parah mengingat statusnya sebagai film high profile di libur Lebaran ini. Aspek yang paling kentara adalah cinematography-nya yang sangat amatir. Jauh-jauh syuting ke Jepang, masa ketika aktor-aktrisnya berdialog dengan background cantik malah ditutupi oleh daun-daun? Saya tahu si DOP (Director of Photography) pingin adegan tersebut bisa tampak nge-blend dengan lingkungan kyk di film-film luar. Tapi dengan teknik yang salah, jadinya malah sangat aneh, terkadang konyol, dan tidak natural. Teknik handheld dan bahkan shaky cam pun digunakan pada adegan-adegan yang tidak dinamis tanpa kepentingan dan maksud yang jelas selain buat keren-kerenan saja.

Tidak hanya itu, resolusi dan tone warna dari hasil syutingnya pun juga kelihatan buruk di banyak bagian karena kemungkinan penggunaan kamera DLSR (tanpa trik khusus untuk menekan kelemahan-kelemahan DSLR) pada saat proses produksi. Setting Jepang yang bising juga membuat film ini terpaksa menggunakan voice recorder untuk mengemix suaranya. Sebenarnya saya masih bisa memaklumi kekurangan dalam aspek production value film La Tahzan karena hal-hal seperti ini memang banyak diakibatkan oleh “tuntutan bisnis” dari pihak produser dan production house. Namun karena dalam kasus ini kedua bagian tampil begitu buruk, baik dari segi storytelling dan segi artistik audio-visualnya, La Tahzan merupakan sebuah siksaan yang sangat luar biasa.

Satu-satunya kelebihan dan satu-satunya hal yang membuat saya sampai tidak melakukan walk-out adalah set Jepang-nya itu sendiri yang paling tidak masih bisa mengalihkan perhatian saya dari para karakter dan kebodohan cerita film ini. Tetapi kalau saya disuruh jujur oleh si Jujur Prananto, pemandangan-pemandangan indah tersebut sama sekali tidak setimpal dengan harga tiket yang saya bayar. Sebaiknya anda mencari film romance lain yang juga berseting di Jepang yang jauh lebih bagus, Lost in Translation (2003) misalnya, kalau memang mau berjalan-jalan melihat keindahan Jepang. 


Overall, sesuai dengan desain poster dan arti judulnya, La Tahzan adalah film menyedihkan yang membuat penontonnya sangat sedih atas segala waktu dan materi yang terbuang percuma untuk menyaksikan film ini. Apabila anda telah membaca ulasan ini dan belum membeli tiket La Tahzan, saya berhasil menyelamatkan anda dari salah satu tontonan terburuk di bioskop.


Panjang : 1431 kata
Rating :
Ditulis oleh : @Elbert_Reyner










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Tentang Fase-fase Perkembangan Peserta Didik

TOP 25 BEST FILMS OF 2012

WORLD WAR Z (2013) : AN ORAL HISTORY OF THE ZOMBIE WAR