IMAX TUNJUNGAN PLAZA 5 SURABAYA: IN-DEPTH REVIEW


Setelah menceritakan apa saja yang saya rasakan ketika menonton The Transporter Refueled di IMAX TP5 pada post sebelumnya, kali ini saya akan membahas lebih dalam dan lebih serius tentang IMAX TP5, kelebihan dan kekurangannya, sekaligus tentang format IMAX 3D yang baru saja saya coba minggu lalu. Sekali lagi, correct me if I’m wrong ya.





Studio & Seating



Ada dua pintu masuk ke dalam studio IMAX: satu di sebelah kiri untuk seat nomor 18-34 (kalau tidak salah) dan satu di sebelah kanan untuk seat nomor 1-17. Sistem dua pintu ini diberlakukan untuk mencegah antrian masuk yang sangat panjang, mengingat IMAX TP5 memiliki kapasitas 443 kursi dan bakalan selalu full house sampai Desember nanti atau sampai orang se-Surabaya merasa tidak ada bedanya nonton di IMAX dan di studio reguler

Untuk seating-nya, Cinema 21 tidak menggunakan sistem stadium seating (mengikuti lengkungan layar) untuk kursi deretan atas sampai dua dari bawah. Hanya dua deretan kursi paling bawah yang dibuat melengkung. Jadi sekilas, bagian dalam studio IMAX ini hampir sama dengan studio besar di Cinema XXI kebanyakan. 

IMAX with Stadium Seating 

IMAX with Stadium Seating
Artinya? Pemilihan kursi pun tidak bisa sembarangan kalau kalian ingin pandangan kalian ke layar pas di tengah-tengah. Kalau kalian duduk di pinggir, ya sensasinya pun sama dengan ketika kalian nonton di bioskop reguler. Ditambah lagi, susunan kursi IMAX TP5 cenderung meninggi, sehingga apabila kalian duduk di bawah seat VIP (seat H), kalian harus mendongak sepanjang film.

Rating: 3/5

Screen

Salah satu scene yang feel-nya bakal berbeda kalau ditonton di IMAX
Setelah berkeliling ke forum-forum dan komunitas film mencari informasi, ukuran layar IMAX TP5 kabarnya sebesar 22x16 meter. Tapi jangan buru-buru dicatat ya, karena menurut saya, ukuran tersebut kurang tepat karena perbandingan aspect ratio-nya salah. Layar dengan luas 22x16 meter itu punya aspect ratio 1.37:1 alias academy ratio seperti yang digunakan di TV kotak dan IMAX 70mm. Padahal seharusnya, aspect ratio IMAX Digital itu sekitar 1.78:1 sampai 1.9:1. 

Well, berapapun itu, layar IMAX TP5 cukup besar kok, dengan ukuran yang kurang-lebih sama dengan IMAX Gandaria City, yaitu 20x11 meter. Layar IMAX TP5 juga dibuat cekung untuk meminimalisir efek viewing angle bagi para penonton yang duduknya di pinggir

Rating: 3.5/5

Visuals

Ilustrasi Projector IMAX Digital

Studio IMAX menggunakan dua proyektor untuk menembakkan gambar ke layar. Tujuannya satu: supaya film tetap terlihat tajam dan terang meski ia harus memenuhi permukaan layar IMAX yang jauh lebih besar dari bioskop reguler. 

IMAX di Indonesia, seperti kebanyakan IMAX digital di negara lain, menggunakan proyektor beresolusi 2K. Tapi jangan khawatir, meski kelihatannya mengecewakan, film-film besar Hollywood masih banyak yang difilmkan dengan kamera digital berresolusi 2K. Membuat film dengan resolusi native 4K masih terlalu mahal untuk saat ini dan kebanyakan film-film yang dirilis dalam format 4K adalah hasil upscale dari 2K ke 4K, atau melalui proses ‘Mastered in 4K’ (di-scan dalam resolusi 4K untuk menghasilkan gambar yang lebih jernih ketika diputar di resolusi 2K). Hasilnya pun hampir sama bagusnya. Film-film yang diputar di IMAX juga sudah melalui proses DMR (Digital Media Remastering) agar film masih terlihat jernih dan tajam meski diputar di layar IMAX.

Setelah menyaksikan dua film dalam format IMAX, The Transporter Refueled dan Everest yang keduanya adalah hasil convert (tidak difilmkan dengan kamera IMAX), saya sangat puas dengan apa yang ditampilkan di layar. 

Rating: 5/5

About ‘An IMAX 3D Experience’




Everest adalah film pertama yang diputar dalam format IMAX 3D di Surabaya. Dan percayalah, it’s one of the best 3D I’ve ever seen in my life. Efek 3D pada film Everest memang adalah hasil konversi, tetapi sutradara Baltasar Kormakur sudah mempersiapkan filmnya untuk tampil prima dalam format 3D. Setiap shot demi shot-nya memberikan kedalaman gambar yang fantastis dan dengan layar IMAX yang mencakup area pandang kita, film ini sukses memberi kesan pada penontonnya bahwa mereka seolah-olah sedang berada di lokasi dan menjadi saksi peristiwa yang sedang berlangsung di layar. Ini adalah sesuatu yang tidak akan bisa kalian temukan di format reguler.

Kelebihan utama dari IMAX 3D ini, menurut saya, terletak pada jenis teknologi 3D yang digunakan. Kebalikan dari Dolby 3D, kacamata IMAX 3D bekerja secara pasif. Artinya: kacamata tersebut tidak perlu baterai, sangat ringan, lensa tidak reflektif (bayangan mata yang sering kita lihat waktu memakai kacamata Dolby 3D), dan memiliki gagang yang tipis sehingga nyaman ketika dipakai. Alhasil, ketika kepala kalian goyang-goyang, gambar di layar masih jelas dan tidak menimbulkan ghosting warna merah-biru serta sensasi ‘gambar ganda dan berputar-putar’ (saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya, coba sendiri saja. Lulz) yang sangat memusingkan itu. 




Kacamata IMAX 3D memiliki ukuran yang lebih besar (ketika dipakai bisa sampai menutupi alis dan daerah kantung mata seperti goggle) dibanding kacamata 3D reguler untuk mengakomodasi area pandang kita yang luas. Ia juga lebih ringan dan nyaman dipakai dibandingkan dengan kacamata Dolby 3D yang digunakan oleh XXI.

Jadi, kalau ada film 3D yang tayang di IMAX, pastikan kalian menonton versi ini. Bagus. Banget.

Rating: 5/5

Sound


Speaker Utama ada di depan (belakang layar)

Film Everest kemarin terdengar jauh lebih menggelegar dibandingkan dengan The Transporter Refueled. Entah karena faktor filmnya (sound mixing, sound editing, dsb) atau karena kebetulan speaker-nya sudah diperbaiki dan dikalibrasi (gara-gara kesalahan teknis waktu opening kemarin). Setiap detil, suara dialog, dan sound effects pada adegan aksinya terdengar sangat renyah dan jernih. Bass yang dikeluarkan pun tidak berlebihan dan mendengung, tetapi masih sanggup memberi kedalaman yang rich dan membuat kursi bergetar (bagi yang terbiasa nonton di studio XXI reguler dengan bass-nya yang mantap itu, kalian pasti merasa kalau sound system IMAX masih terdengar kurang nendang. Tapi semua kembali masalah ke selera). Namun ada satu adegan, ketika Jake Gylenhall berjalan ke samping kamp (keluar dari frame) dan berbicara di belakang, yang berhasil membuat saya penasaran setengah mati pada penataan speaker-nya.

Saking penasarannya, setelah lampu studio kembali dinyalakan, saya langsung mencari-cari speaker studio IMAX. Dan ternyata, hanya ada di depan (di balik layar) dan dua di belakang. Tidak ada speaker di kiri dan kanan studio seperti bioskop pada umumnya. So that explains a lot kenapa suara jejak kaki Jake tidak terdengar di samping, melainkan berjalan dari kiri depan dan langsung ke belakang. Sebelum kalian gempar, alur suaranya masih terdengar natural kok (selama kalian tidak fokus 100% pada suaranya) dan penataan speaker seperti ini memang sudah standard dari IMAX.

Penjelasan Cara Kerja Speaker IMAX

Sayangnya, penataan speaker seperti ini juga bisa memberikan kesan yang berbeda pada telinga penonton yang tidak duduk di best seat. Penyebaran suaranya pasti berat di depan dan di belakang, berbeda dengan studio reguler yang merata dari segala sisi. Jadi logikanya, semakin depan tempat kalian duduk, suaranya akan terdengar semakin keras (mungkin ini bisa menjawab pertanyaan saya kenapa film TDKR terdengar sangat keras waktu saya menyaksikannya di IMAX Gandaria City kemarin—itu pasti karena saya duduknya empat baris dari depan!). Dan kalau kalian duduknya di bawah speaker belakang (seat A pojok kiri dan kanan)… ya sudah, bye-bye.

Rating: 4/5

------------------------------

Curhat Penulis:

Overall, walau IMAX TP5 tidak berhasil sepenuhnya memenuhi ekspetasi rakyat Surabaya (terutama ukuran layarnya. Entah sebesar apa yang mereka bayangkan sebenarnya, wong IMAX aja nggak ngerti apa itu), saya dan segenap teman-teman movie bloggers, moviegoers, etc. di Surabaya berterima kasih kepada Cinema 21 yang sudah mendengar teriakan kami dan memilih kota Surabaya sebagai tempat studio IMAX pertama yang dibuka di luar Jabodetabek (walau kita semua gak diundang ke opening-nya)

Dan buat kalian yang masih awam di dunia perfilman, tetapi nekad menulis artikel dan ulasan IMAX amburadul sampai membanding-bandingkan IMAX dengan TV 4K segala (iya! Televisi 4K yang itu!), please, jangan malu-maluin. Lakukan riset lebih dulu, tulis wacana yang berkualitas dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau memang bukan bidang kalian, jangan coba nulis artikel di bidang itu. Misalnya seperti food blogger nulis review IMAX pakai bahasa film. Misal ya. 

Asal kalian tahu, studio IMAX yang dibangun di TP5 Surabaya atau di Jabodetabek sana sudah memenuhi standard dari IMAX. Cinema 21 tidak pernah sembarangan dalam membangun bioskopnya. Para pemiliknya adalah orang-orang yang mempunyai passion pada film yang sangat kuat. Mereka bahkan berkeliling dunia, mencoba setiap bioskop di setiap negara, sebelum mendirikan Cinema 21. Jadi, jangan terkejut kalau banyak yang bilang studio-studio bioskop Cinema 21 ini adalah salah satu yang terbaik di dunia dan yang terdepan di Asia Tenggara.

Jadi, kalau kalian bilang teknologi IMAX Digital di Indonesia sudah kuno, atau ketinggalan zaman, atau kalah dengan negara lain, kalian justru menunjukkan watak dan ketidaktahuan kalian sendiri.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Tentang Fase-fase Perkembangan Peserta Didik

TOP 25 BEST FILMS OF 2012

WORLD WAR Z (2013) : AN ORAL HISTORY OF THE ZOMBIE WAR